Prelude
Perang Dunia ke 2 termasuk salah satu era di
dalam sejarah yang cukup sering diangkat dalam berbagai format cerita, baik
yang didasari kisah nyata maupun fiksi. Saya pribadi banyak dikenalkan dan
dibuat sangat tertarik dengan era tersebut (selain melalui serpihan pelajaran
sejarah SMA yang tertinggal di kepala) antara lain oleh 10 episode Band of
Brother (plus bukunya), 10 episode The Pacific, film Pearl Harbour, Letters
from Iwo Jima, Enemy at the Gates dan banyak karya lain.
Film Imitation Game sejak awal sudah menggaet
perhatian saya utamanya karena 2 hal:
(1) Konon film ini akan menceritakan bagaimana
cara sesungguhnya Sekutu bisa menang atas Jerman Di LUAR strategi dan personel
militernya (seperti Dick Winters FTW!)
(2) Karena pemeran utamanya adalah Benedict
Cumberbatch
*ok… mungkin sejujurnya urutannya terbalik*
Setelah gigit jari karena tidak bisa nonton
film ini saat Jakarta Film Festival (Imitation game menjadi surprise screening) akhirnya secara
ajaib film ini masuk ke rantai bioskop komersil Indonesia, sepertinya menjadi
film kandidat peraih oskar pertama yang beredar (mendahului Theory of Everything,
Birdman, Whiplash, dsb).
So, begitu tahu tanggal 17 Januari 2015 ada
jadwal midnight (23:30) di bioskop dekat rumah, saya langsung dengan semangat
membara meniatkan diri, meski besoknya juga akan nonton konser Avenged
Sevenfold juga (I can do it, hell yeah I’m still young! Am I?). Dan karena ada
promo buy one get dengan rekening ponsel CIMB Niaga, sebagai customer yang
tidak mau rugi akhirnya saya menyusun muslihat agar “get one” nya tidak mubazir
yaitu dengan mengajak mami dengan modus membeli kacamata baru. Sebenarnya agak
khawatir karena jadwalnya malam sekali, tema filmnya agak tidak biasa, dan
belum tahu pace filmnya seperti apa, takutnya nanti nyokap bosan.
Pay Attention to the
Timeline Puzzle
Saya tidak tahu harus mengkategorikan Imitation
Game ke dalam genre apa, apakah ia film Biopic? Thriller? Drama? Namun sejak
dimulai film ini sudah langsung meminta perhatian penuh dari saya, atau
tepatnya tokoh Alan Turing sendiri sudah langsung bertanya dengan tajam kepada
kita
“Are you paying
attention?”
“If you’re not
listening carefully, you will miss things, important things. I will not pause.
I will not repeat myself, and you will not interrupt me”....”I am in control, because
I know things that you do not know.”…”You will listen closely and you will not
JUDGE me until I am finished.”
Kalimat pembuka ini langsung membuat saya
berpikir bahwa Bapak Turing ini galak, dan tidak sabaran (hipotesis awal:
profesor matematika dan guru pelajaran eksakta itu berada pada genre yang sama)
Noted Mr Turing… My phone is in silent mode,
I’m not munching popcorn, please start your story.
Cerita dalam film Imitation Game mengambil 3
periode dalam kehidupan Alan Turing. Pertama kali kita akan dipertemukan dengan
Turing di Manchester tahun 1952 melalui sudut pandang Detektif Nock yang
ditugaskan menyelidiki pencurian di kediamannya. Investigasi pencurian ini
menyulut rasa penasaran Detektif Nock terhadap sang profesor eksentrik yang
justru sibuk menyapu bubuk sianida di
lantai saat ditanyai dan tidak nampak marah ataupun berniat mengetahui siapa
gerangan sang pencuri.
Kemudian kita dibawa ke London tahun 1939, saat
Turing menjalani wawancara di Bletchley Park dengan Komandan Denniston yang
sejak awal sudah dibuat naik darah oleh Turing yang menyatakan dirinya agnostik
terhadap kekerasan (termasuk perang?). Periode ini memiliki porsi terbanyak
dalam film dimana kita akan melihat usaha mati-matian tim pemecah kode
membongkar kode enigma.
Periode ketiga menyorot sosok Turing saat masih
duduk di sekolah (1928) yang menunjukkan bahwa sikap eksentrik Turing sudah ada
sejak ia kecil sehingga menjadikannya
sasaran empuk untuk dijahili oleh teman-temannya. Kita juga akan mengenal sosok
Christofer, satu-satunya murid di sekolah yang menganggap keanehan Turing
sebagai pertanda bahwa Turing akan mampu melakukan sesuai yang luar biasa nantinya.
Christofer kemudian akan memiliki tempat khusus di kehidupan Turing.
“You know Alan, sometimes it’s the very people
who no one imagines anything of, who do the things no one can imagine” –Christofer to Turing-
Logic and Intellect
without Relationship
“I don’t have time to explain
myself as I go along and I’m afraid these men would only slow me down”
Kalimat ini dilontarkan Turing dengan ringannya
di briefing awal ketika ia pertama kali bertemu
sejumlah orang yang akan menjadi koleganya. Sesungguhnya ia tidak
bermaksud merendahkan atau melecehkan siapapun, ia hanya mencetuskan kesimpulan
pemikirannya yang menurutnya logis.
Sementara rekan-rekannya bekerja sama menelaah
pesan-pesan Jerman yang disandikan. Turing sudah memiliki persepsi yang
berbeda. Ia sadar bahwa mesin Enigma yang memiliki 8 rotor dan 10 lubang kabel
sehingga (menurut si tampan Hugh Alexander) bisa menghasilkan 159.000.000.000.000.000.000 kemungkinan kombinasi, tidak akan bisa
dipecahkan secara manual. Ia berencana membangun mesin yang akan memecahkan
kombinasi tersebut. Machine versus Machine.
Pemikiran logis tanpa embel-embel kepantasan tersebut
yang kemudian membuat Turing
- Berani menyampaikan gagasannya mengenai mesin pemecah kode langsung ke Winston Churchill sehingga kemudian ia diberikan wewenang memimpin tim
- Memberikan kesempatan yang sama kepada seorang wanita bernama Joan Clarke untuk mengikuti seleksi masuk timnya
- Memutuskan untuk melamar Joan Clarke menjadi tunangannya
- Berhasil mencegah timnya bertindak gegabah ketika mereka baru saja berhasil memecahkan kode Enigma
Menariknya, kita akan melihat bahwa bukan
intelektualitas dan logika yang membuat Turing berhasil memecahkan Enigma
melainkan hubungan dengan manusia lain, satu hal yang selalu ia abaikan. Selama
ini Turing lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam menyusun papan sirkuit
di mesin ciptaannya ketimbang berkomunikasi dengan timnya. Sampai Joan Clarke
masuk ke dalam kehidupan Turing. Joan Clarke menjadi satu-satunya orang yang
bisa memahami Turing sekaligus bisa mengomeli Turing (dengan lembut) bahwa ia membutuhkan
bantuan dalam mengalahkan Enigma.
“I am a woman in a
man’s job and I don’t have the luxury of being an ass. Alan, it doesn’t matter
how smart you are, Enigma is always smarter. If you really want to solve your
puzzle, then you’re going to need all the help you can get, and they are not
going to help you if they do not like you.”
Confined by Secrecy, Punished
for Being Different, Started and Ended Up Alone
Kita versus Mereka, Us versus Them adalah jenis konflik yang paling sering
muncul dalam fiksi dan realita, namun di film ini kita akan menyaksikan
bagaimana jika yang terjadi adalah Someone
versus (almost) Everyone Else. And yet ironically, those who attacked him actually had the same goal
s and wanting the same thing as him
Saya diajak untuk memahami seseorang yang
sangat “berbeda” dari kita. Memang hal tersebut tidak mudah dan seringkali sang individu “aneh” lah yang justru mempersulit
keadaan. Penggambaran Turing sebagai outsider berhasil dibawakan dengan
sangat mulus oleh Benedict Cumberbatch, mulai dari arah pandangan mata Turing
yang sering menghindari tatapan langsung lawan bicaranya, cara bicara yang
tersendat-sendat, gaya bekerja yang tidak biasa, sampai sesi lelucon ala Turing
yang hanya membuat bingung pendengarnya.
Akhir kisah Imitation Game ini bukan termasuk
jenis yang saya senangi (I like a good
old fashion happy ending). Untuk sejenak saya dibuat terharu saat para penentang
Turing akhirnya bisa mendeskripsikan keistimewaan karakter Turing dibalik kepribadiannya yang antik dan berbalik mendukungnya, saya juga dibuat lega dan gembira saat kode Enigma berhasil dipecahkan. (edit: nggak tahu kenapa dulu nulis "mendeskripsikan" sepertinya yang ada di otak maksudnya "decrypt" *facepalm*)
But the real ending yang berhasil menciptakan
keheningan di ruang bioskop justru menceritakan bagaimana Turing kembali dihakimi
sebagai sosok yang melanggar norma, dianggap abnormal, sehingga ia terpaksa
kembali kepada kesendiriannya. Kolega yang sebelumnya dipikir sudah menjadi kawan tidak
nampak membela atau setidaknya hadir untuk mendukung Turing. Bahkan negara yang
berkat pemecahan kode Enigma oleh Turing tidak jadi lumat oleh Jerman sama
sekali tidak mempedulikan Turing. In the end, it’s just him and……. (again) Christofer
Two weeks from my first viewing I decided to see The Imitation Game again
Oh ya, salah satu adaptasi lain dari kisah Turing adalah drama teater berjudul breaking the code. Di sini Sir Derek Jacobi yang memerankan Turing. Pada versi ini kita bisa melihat sisi pribadi Turing saat berinteraksi dengan pria muda bayaran yang kemudian mencuri di rumahnya.
Oh ya, salah satu adaptasi lain dari kisah Turing adalah drama teater berjudul breaking the code. Di sini Sir Derek Jacobi yang memerankan Turing. Pada versi ini kita bisa melihat sisi pribadi Turing saat berinteraksi dengan pria muda bayaran yang kemudian mencuri di rumahnya.
Bonus : A Handsome Pic of Hugh Alexander
No comments:
Post a Comment